Zulfadhli Nasution, ditulis 2007
———
Flu burung masih menjadi ancaman kesehatan. Indonesia masih memegang rekor sebagai negara dengan korban terbanyak, 80% dari lebih 70an orang yang terjangkit, atau 62nya telah meninggal dunia. Berbagai pihak pun telah berupaya meminimalisasi dan mengeliminasi dampaknya.
Pemberantasan yang dilakukan sudah seharusnya merupakan program yang terpadu. Terpadu dalam arti komprehensif, integral, tidak sporadis dan tidak juga parsial. Ahmadi (2005) menyatakan bahwa secara teoritis, manajemen penyakit secara terpadu adalah mengintegrasikan antara pengendalian faktor risiko penyakit yakni variabel kependudukan (perilaku) dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit, serta manajemen kasus atau penderita atau sumber penyakitnya.
Secara epidemiologi, proses timbulnya suatu penyakit (patogenesis) memang selalu berkaitan dengan 3 faktor penting yaitu host (calon penderita), agent (sumber penyakit) dan environment (lingkungan). Maka, dalam keterpaduan manajemen penyakit semestinya dilakukanlah intervensi semaksimal mungkin pada ketiga-tiganya.
Paradigma Kesehatan Lingkungan
Manajemen penyakit secara terpadu dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada paradigma kesehatan lingkungan. Paradigma kesehatan lingkungan ini mencakup empat simpul proses terjadinya penyakit yaitu sumber penyakit (simpul 1), media transmisi (simpul 2), komponen kependudukan (simpul 3), dan keadaan sakit atau sehat (simpul 4).
Manajemen pada simpul 1 ditujukan untuk mengintervensi sumber penyakit, dalam hal ini penyakit flu burung. Simpul 1 pada penyakit menular umumnya adalah penderita itu sendiri. Pada penyakit flu burung, sumber penyakit adalah pasien yang telah confirmed terinfeksi virus, atau yang saat ini dikenal adalah H5N1.
Pengendalian pada simpul ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, melakukan tindakan kuratif dan penanganan medis bagi mereka yang telah positif terinfeksi virus. Mesti pula dilakukan penemuan kasus di lapangan secara aktif yang dapat berfungsi bukan hanya untuk pengobatan tetapi juga melakukan penggalian informasi mengenai sebab-sebab penyakit (studi retrospektif) sehingga kemudian dapat diambil aksi untuk pencegahan. Dilakukan pula proses isolasi agar virus ini tidak melanggengkan siklus mata rantai kehidupannya melalui reservoir lain.
Kedua, melakukan pencegahan berdasarkan fakta yang ditemukan seperti memvaksinasi unggas-unggas, dengan tetap memantau perkembangan keadaan patogenesis di masyarakat. Dalam manajemen simpul 1 ini, semua pihak yang berkaitan dengan sumber penyakit juga sepatutnya waspada. Memang secara ilmiah belum ditemukan adanya penularan dari manusia ke manusia, hanya saja tindakan preventif selalu diperlukan. Selain itu, petugas kesehatan yang melaksanakan tindakan di lapangan seperti vaksinasi unggas, pemusnahan, pemeriksaan dan sertifikasi sebaiknya menggunakan peralatan proteksi diri sehingga dapat meminimalisasi terjangkitnya penyakit ke dalam tubuh.
Simpul 2, setelah sumber penyakit, adalah wahana transmisi. Seperti namanya, maka unggas lebih dikenal sebagai wahana transmisi Avian influenza yang paling penting. Perlu diketahui pula bahwa unggas yang terinfeksi H5N1 biasanya memiliki gejala jengger berubah menjadi warna biru, timbul borok di kaki, dan terjadi kematian mendadak.
Penularannya kepada manusia diketahui melalui jalur pernapasan setelah kontak dengan unggas, kotorannya, serta bagiannya yang lain. Penanganan pada simpul ini ditujukan agar masyarakat meminimalisasi kontak dengan unggas. Caranya antara lain dengan mengatur jarak antara peternakan atau kandang unggas dengan pemukiman, melakukan vaksinasi pada unggas dan melakukan penanganan higiene dan pengandangan secara disiplin bagi unggas.
Adapun pemusnahan yang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah, terutama DKI, bisa menjadi solusi tetapi perlu diperhatikan pula jangka pelaksanaannya. Pertanyaannya, sampai kapan hal itu harus dilakukan? Pertimbangannya, bila hal itu dilaksanakan secara kontinu, maka kompensasinya terutama secara ekonomi akan membengkak. Bagaimana pula dengan peternakan yang komersial dan skala besar? Maka diperlukan kerja keras dari para ahli lintas sektor untuk terus meneliti root problem dari kasus ini. Instansi yang berkaitan dengan kedokteran hewan pun perlu melakukan penelitian dan kajian terus menerus mengenai hal ini.
Perlu diketahui bahwa sampai saat ini flu burung tidak berkaitan dengan mengonsumsi daging atau telur ayam, asalkan dimasak sampai matang. Untuk daging sekitar 1 menit dalam suhu 800 C dan telur sekitar 5 menit dalam suhu 640 C. Jadi, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir untuk memakan daging unggas.
Manajemen selanjutnya adalah pada simpul 3, yaitu pengendalian tereksposnya agent kepada penduduk. Ini utamanya berkaitan dengan perilaku manusia sebagai host dari agen penyakit. Beberapa upaya yang telah dikenal (Ahmadi, 2005), antara lain upaya perbaikan perilaku hidup sehat, penggunaaan alat pelindung diri, imunisasi, atau kekebalan alamiah ketika terjadi wabah demam berdarah dengue.
Perilaku hidup sehat merupakan dasar dari kaidah kesehatan masyarakat dalam pemberantasan penyakit manapun. Dalam hal flu burung ini, maka diperlukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat sehingga kesadaran mereka terbangun untuk mencegah flu burung sejak dini. Program ini bisa melalui media massa, kampanye simpatik, advokasi kepada aparat pemerintahan dan tokoh masyarakat, penyuluhan, seminar, workshop dan lain sebagainya. Kegiatan promosi dan sosialisasi ini dapat dilakukan dengan bekerjasama antara Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, media massa, mahasiswa dan LSM.
Hal-hal yang perlu disosialisasikan antara lain: meminimalisasi kontak dengan unggas bila tidak diperlukan, memperhatikan kebersihan diri saat kontak dengan unggas dengan menggunakan peralatan proteksi diri, memperhatikan higiene setelah kontak dengan unggas seperti mencuci tangan, membersihkan kandang dan menjemurnya dengan sinar matahari, juga memperhatikan keadaan unggas di sekitar. Selain itu penting untuk tetap memelihara daya tahan tubuh, mengonsumsi makan yang bergizi, dan istirahat yang cukup. Diharapkan, manajemen pada simpul 3 ini bisa mengubah perilaku masyarakat sehingga kerentanan mereka untuk terjangkit virus flu burung dapat direduksi.
Penanganan selanjutnya, pada simpul 4, adalah manajemen kasus. Pada penyakit lain biasanya dengan cara pengobatan, hanya saja pada flu burung ini belum ditemukan obat yang efektif, yang ada hanya tamiflu untuk meningkatkan daya imunitas terhadap virus. Maka, cara yang dilakukan adalah dengan penanganan medis berupa isolasi dan hal lain yang dianggap perlu dilakukan oleh tenaga kedokteran.
Diperlukan pula kesadaran dari masyarakat untuk memeriksakan diri dengan segera ke Puskesmas bila merasa memiliki gejala yang biasa dialami oleh suspect flu burung. Beberapa tanda yang biasa terjadi pada pasien suspect flu burung adalah suhu di atas 380 C, batuk, nyeri otot, sulit bernapas, kering pada mata dan tenggorokan.
Kita berharap, dengan penanganan yang komprehensif dan kontinyu dari semua pihak, yang tentu tanggung jawab terbesar ada pada pemerintah, dapat menekan korban flu burung. Bila tidak tertangani dengan segera, maka yang menjadi korban (lagi-lagi) adalah masyarakat.