Peduli Korban Banjir Jakarta dan Bekasi 2013

Saya memang bukan orang Jakarta asli. Saya juga sering komplain tentang kondisi Jakarta, kemacetan lah, gangguan kereta lah, busway yang penuh, trotoar yang direbut motor-motor, dan lain-lainnya. Tapi bagaimanapun, Jakarta telah memberikan banyak pelajaran, dan tentu saja pendapatan secara ekonomi buat saya pribadi, dan banyak orang yang tinggal di atas tanahnya.

Dan banjir yang melanda Jakarta juga daerah penyangganya seperti Bekasi, tentu saja memberikan efek buat mereka yang bukan orang asli itu, termasuk saya. Di balik segala hal yang perlu dievaluasi dari sisi yang bisa diatur oleh manusia, banjir telah mengetuk kepedulian banyak orang. Bantuan dalam berbagai bentuk disumbangkan. Gotong-royong, di samping banyak juga yang mengomersilkan bencana, kembali hadir di kalangan masyarakat urban.

Di Jati Asih, Bekasi, ketika saya bergabung dengan posko kesehatan persis di sebelah tanggul sungai setinggi rumah satu lantai yang meluap sebelumnya, saya mendengar banyak ungkapan, “Kalo ga gini kan kapan lagi kerja bakti,” kata penduduk sambil menyerok lumpur setinggi 5 sampai 10 cm di halaman rumahnya, dan bergantian membantu tetangganya.

Salah seorang penduduk merelakan rumahnya menjadi posko dan menyuplai air dari pompanya untuk kebutuhan para relawan, menyediakan air mineral, dan menyuplai makanan.

Dan dari banjir, saya juga bisa melihat secara langsung bahwa Jakarta bukan hanya Jalan Jendral Soedirman atau MH Thamrin, tempat di mana sehari-hari saya lewati. Ada Ulujami,  pemukiman yang sangat penduduk, yang jika terjebak banjir mereka pun susah keluar menuju akses evakuasi karena memerlukan peralatan tambahan seperti perahu karet.

Dari sisi penyikapan terhadap bencana, kadang saya haru. Ketika mengantar alat kebersihan dasar, higiene pribadi, selimut, dan makanan ringan melalui seorang Ibu Ketua RT, dia mengatakan, “Saya tidak akan ambil jika memang bantuan ini bukan buat saya, berikan apa yang untuk saya, dan yang lain akan saya sampaikan” Padahal cukup banyak “kelebihan” bantuan yang akan disalurkan kepada warganya saat itu.

Di satu sisi saya juga sedih. Karena beberapa masyarakat masih tidak bisa tertib dalam penyaluran. Mereka berebut, meminta lebih, tidak mau antri, bahkan membuka bungkusan yang  harusnya tidak dibagikan dan mereka bagikan sendiri. Bisa jadi mereka memang sudah terdesak oleh kebutuhan. Ini pelajaran lain untuk relawan dan untuk kita semua, bagaimana menularkan perilaku tertib dan mental tidak menghiba.

Demikian beberapa yang bisa saya tangkap dari pertama kalinya saya menjadi relawan dalam kondisi bencana. Tentu kontribusi yang sangat kecil, dan bisa jadi tidak terhitung jika tidak ikhlas.

Tentang Car Free Day (2)

Setelah merasakan sensasi car free day di Dago Bandung, sebagaimana saya posting dalam tulisan sebelum ini, saya membeli Kompas dan yang menjadi liputan di halaman utama adalah tentang trotoar, yang saya definisikan lebih lanjut sebagai hak pejalan kaki dalam tulisan ini.

Tertulis pernyataan Enrique Penalosa (Mantan Walikota Bogota, Kolombia) ketika berkunjung ke Jakarta dalam kegiatan Sustainable Jakarta Convention 2009, “Trotoar yang nyaman adalah elemen dasar bagi sebuah kota yang demokratis. Di trotoar, masyarakat dari kelas sosial dan ekonomi bertemu dalam status yang sama, sebagai pejalan kaki.”

Maka ketika berbicara car free Day, pemerintah sebenarnya sedang mendekatkan rakyatnya satu sama lain. Car free day lebih dari sekedar trotoar, yang di Indonesia kurang begitu diperhatikan keberadaannya. Car Free Day mengubah jalan raya sepenuhnya menjadi trotoar.

Maka, ada beberapa manfaat yang bisa dipetik dari beberapa aspek pelaksanaan car free day ini.

Secara politis, car free day adalah fasilitasi bagi masyarakat untuk menikmati ruang publik yang selama ini mereka telah berkontribusi untuk pembangunannya, baik melalui pajak maupun retribusi lain yang dibayarkan kepada pemerintah. Selain itu, juga memberikan hak bagi masyarakat dari segala lapisan, terutama yang sehari-hari tidak memiliki kendaraan untuk menikmati jalan yang mereka ikut andil “membangunnya.” Terlebih, kalau para pejabat yang memberlakukan kebijakan ini juga membaur dengan warganya, melihat kondisi secara langsung, menyapa mereka, dengan tidak dibuat-buat dan jauh dari kesan protokoler.

Secara sosial, car free day harus didorong untuk menciptakan suasana guyub di masyarakat, terutama di kota-kota besar yang sudah mulai tergerus dengan kesibukan kerja dan terlihat agak kurang humanis. Di car free day, seniman jalanan bebas berekspresi. Komunitas berkumpul mengembangkan dan menunjukkan bakat. Semua kalangan berkumpul. Mereka menikmati kotanya. Dan, itu yang terpenting. Jika masyarakat sudah menikmati kotanya, ia akan merasa memiliki dan turut menjaganya.

Itulah strategi yang dilakukan Walikota Mockus (walikota sebelum Enrique Penalosa, yang sebagian programnya dilanjutkan Penalosa) selama dua tahun (1995-1997) untuk memfokuskan pada perencanaan kotanya secara jelas dengan program Formar Ciudad atau “Mendidik Kota” dengan penekanan para pembinaan kultur warga kota, ruang publik, lingkungan sosial, selain juga mengupayakan produktivitas urban hingga legitimasi institusional.

Secara ekonomi, car free day juga bisa mendorong usaha ekonomi kecil yang selama ini tidak terfasilitasi seperti pedagang asongan, atau pedagang kaki lima, yang di hari biasa menjadi target Satpol PP. Kenapa tidak difasilitasi saja di car free day, tentu saja ditempatkan dalam posisi yang sedemikian rupa sehingga tidak malah membuat jalanan menjadi pasar tumpah. Mereka bisa ditempatkan di kedua ujung dan pangkal dari jalur car free day dengan penataan yang apik dan rapih. Tentu saja dengan pembinaan tentang sikap menghargai kota, agar tempat transaksi tidak juga menjadi tempat di mana sampah akan berserakan, kemudian tanaman di sekitar akan rusak, dan hal-hal merusak lainnya.

Wah, saya membayangkan andainya kota-kota besar, seperti Jakarta menjadi kota yang humanis. Setiap hari kalau perlu. Seperti apa yang telah dilakukan Penalosa setelah melakukan restrukturisasi kota:

Orang-orang bersepeda di jalur yang nyaman. Sebagian lagi berjogging atau berjalan kaki di pedestrian, di antara taman-taman yang tertata apik. Sementara di jalanan, mereka yang memilih angkutan bus umum bisa melaju dalam kenyamanan. Jalanan lebar, dengan jembatan penyeberangan yang didesain menarik, meliuk-liuk di tengah keramaian jalanan. Pedestrian dan jalur sepeda nyaman serta luas, memanjakan warga kota untuk bisa menikmati kotanya.

Taman-taman rimbun dan menghijau diperindah dengan sejumlah pasangan memadu kasih (upps, hny mengutip dari sononya, mgkn yang sudah resmi maksudnya) atau para pelajar tenggelam dalam bacaannya. Rumah-rumah susun dan apartemen tersebar di sejumlah kawasan yang terhubung dengan jalur transportasi.

Beuuh, tapi mungkinkah itu di Jakarta dan kota besar lainnya?? Kapan ya kira-kira??

Tentang Car Free Day (1)

Kita membangun kota tidak melulu untuk bisnis dan kendaraan, tetapi untuk anak-anak, remaja dan orang tua. Jadi untuk masyarakat luas. Daripada membangun jalan, kami mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan membangun sarana pejalan kaki dan sepeda yang baik, membuat sistem transportasi umum yang handal, mengganti tiang-tiang iklan dengan pepohonan. Semua itu kami lakukan dengan satu tujuan, ‘kesejahteraan.”

Enrique Penalosa, Walikota Bogota, Kolombia (1998-2001), ketika berkunjung ke Jakarta tahun 2001

Berbicara tentang car free day, maka mungkin kita bisa melihat bagaimana seorang Penalosa menginisiasinya di Bogota. Pada tanggal 22 Desember 1999, Walikota Penalosa mengawali sepak terjangnya dengan memberlakukan pelarangan penggunaan kendaraan bermotor di jalan raya (car free day) dan memaksa jutaan orang untuk menikmati lampu-lampu natal dari sepeda atau berjalan kaki dengan aman. “Jika kita bicara soal kota, kita harus bicara bagaimana seharusnya kita tinggal dan bermukim,” katanya. Wali Kota yang tadinya seorang akademisi bidang ekonomi, sejarah, dan administrasi publik itu akan dikenang sebagai wali kota yang berjuang keras menegakkan sebuah kota ideal.

Penalosa merekonstruksi kotanya dengan membuat 1.200 taman, menanam 100.000 pohon, merehabilitasi sekolah, dan permukiman-permukiman serta memperbaiki lingkungan. Dia memfokuskan kebijakannya pada bagaimana mendidik warga kota menikmati lingkungannya serta memperluas ruang publik.

Orang-orang kaya bisa menghabiskan waktunya di countryside, pergi ke klub, atau makan di restoran. Tetapi untuk rakyat susah, mereka menghabiskan waktu senggangnya di ruang publik. Untuk alasan itulah, tingkat hidup dan ruang terbuka maupun Pedestrian diperlukan agar demokrasi benar-benar berjalan,” kata Penalosa seperti dikutip sebuah media.

Penalosa melakukan referendum untuk menentukan kebijakan car free day dengan janji akan membatalkan kebijakan car free day jika memperoleh suara kurang dari 60%, walaupun akhirnya 61% menyetujui untuk dilanjutkan. Dan, pada tanggal 24 Februari 2000, secara resmi pertama kalinya diterapkan Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Bogota, dimana 7 juta penduduk dapat menikmati jalan raya yang aman dan udara yang nyaman. Saat itu satu setengah juta penduduk melakukan perjalanan dengan bersepeda dan berjalan kaki.

Dalam referendum lain yang dilakukan pada bulan Oktober 2000, 70% menginginkan dilanjutkannya hari bebas kendaraan, 51% bahkan mendukung gagasan untuk dilakukan setiap hari selama 6 jam. Dalam rencana induk yang dibuat oleh Penalosa, akses jalan lebih diutamakan untuk pejalan kaki, pemakai sepeda, maupun infrastruktur yang lebih mengutamakan angkutan umum. Sebaliknya, penggunaan angkutan pribadi lebih dipersulit dengan sejumlah ketentuan.

Pelaksanaan car free day-yang juga disebut-sebut sebagai yang terbesar di dunia-dimaksudkan pemerintah kota agar warganya bisa membayangkan bahwa kota tanpa kendaraan pribadi bukanlah hal yang mustahil. Dalam pemungutan suara yang diselenggarakan pemerintah kota, warga kota menginginkan acara tersebut bisa berlangsung setiap tahun. Selain kebiasaan berjalan kaki (hampir 30 persen warga Bogota berjalan kaki untuk melaksanakan aktivitas kesehariannya, termasuk pulang pergi sekolah atau bekerja), kebiasaan menggunakan sepeda juga semakin membaik. Jika pada tahun 1998, pengguna sepeda hanya 1 persen saja dari seluruh pengguna moda angkutan di Bogota, maka pada tahun 2002 meningkat hingga 4 persen.

Selama 3 tahun masa pemerintahannya, Walikota Penalosa telah membangun jalur sepeda sepanjang 350 km. Ini merupakan kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di Amerika Latin maupun di kota-kota negara berkembang lainnya.

Jalur-jalur sepeda dan pedestrian itu dibuat sangat kompak, sustain, dan terintegrasi serta memiliki akses yang sangat luas hingga menembus berbagai kawasan pemukiman. Selain itu, pemerintah kota pun memanjakan para pengguna sepeda dan pejalan kaki dengan berbagai regulasi keistimewaan (privilege).

Untuk mendukung ini, tak segan-segan walikota sendiri dan pejabat pemerintahnya memiliki jadwal tertentu untuk bersepeda saat pergi ke kantor. Oleh karenanya dalam waktu lima tahun, jumlah pengendara sepeda meningkat drastis hingga mencapai 100% nya, yakni dari 8% pada tahun 1998 menjadi 16% pada 2003. Bahkan hingga tahun 2005, ditargetkan sekitar 30% penduduk Bogota akan menjadikan sepeda sebagai salah satu moda transportasinya. Semua itu tidak lepas dari perhatian pemerintah kotanya yang menyediakan fasilitas jalur sepeda yang aman dan nyaman tersebut.

Yang menarik adalah alasan yang di kemukakan oleh walikota, “Semua ini dilakukan untuk anak-anak. Jika kita menciptakan anak-anak yang bahagia, maka kita akan mempunyai segalanya, di samping masalah kesetaraan (equity).”Tambahnya lagi, “Setiap dollar harus dapat digunakan untuk membahagiakan anak-anak. Dari pada membangun jalan baru, kita harus membangun kota yang adil bagi semua orang“.

-GREAT!-

 

Utilisasi ASI: Mencegah Malnutrisi Sejak Dini

Zulfadhli Nasution, ditulis 2006, gagalmenanglomba

Akhir-akhir ini bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah kesehatan yang nampaknya juga menjadi rangkaian ujian dalam menyongsong keberhasilan program Indonesia Sehat 2010. Satu yang masalah yang sangat penting (mungkin juga terpenting) adalah masalah malnutrisi, atau biasa disebut-sebut dengan istilah gizi buruk. Terkuaknya berbagai kasus di berbagai daerah Indonesia membuka lembar ujian itu.
Koran Tempo (7 Juli 2006) menyebutkan hasil studi World Food Programme dan Badan Pusat Statistik yang menunjukkan kenaikan kasus gizi buruk yang meningkat 50% pada pertengahan tahun 2006. Dari 4,4 juta jiwa penderita, meningkat menjadi 6,2 juta jiwa. Dari sekian kasus tersebut, 29,8% terjadi pada balita, tersebar di 78 kabupaten/kota dan 772 kecamatan di seluruh wilayah Indonesia. Buruknya masalah gizi ini menyebabkan angka kematian bayi mencapai 55 jiwa per 1000. Wajarkah?
Jawabannya bisa ia bisa tidak. Bisa wajar karena memang masa anak-anak adalah masa yang rentan terhadap penyakit, karenanya di masa-masa inilah seseorang dianjurkan untuk diimunisasi dan divaksinasi, yang tujuannya tentu untuk memberi kekebalan dari datangnya berbagai penyakit. Namun bisa juga tidak wajar, jika seorang ibu memperhatikan imunitas dan vaksinasi alami sang anak, salah satunya dengan pemanfaatan air susu ibu untuk menyuplai gizi pada anak.
Kaitan antara pemberian ASI (air susu ibu) terhadap pencegahan malnutrisi pada anak telah diteliti sejak puluhan tahun lalu. Intinya, terungkaplah bahwa terdapat korelasi positif antara pemberian ASI dengan status gizi anak. Semakin sering anak mendapat perhatian (lewat menyusui) mempunyai probabilitas yang lebih untuk mendapatkan suplai nutrisi yang baik dibandingkan dengan bayi yang tidak disusui atau disusui tapi hanya sebentar saja.

Kandungan
Kandungan ASI dibedakan berdasarkan masa waktu laktasinya. Kolostrum adalah kandungan ASI yang diproduksi selama satu minggu sejak masa awal laktasi. Setelah itu, kandungan ASI disebut dengan mature milk. Keduanya memiliki kadar komposisi yang cukup berbeda. Kolostrum mengandung lima kali protein dibandingkan dengan yang terdapat pada mature milk. Dari 100% protein itu, 20%nya adalah kasein. Sebagian besar dari 80% sisanya adalah immunoglobulin A (Ig A). Yang lainnya yang juga penting adalah laktoferin yang membantu pengabsorpsian zat besi, juga lysozyme yang menghambat pertumbuhan bakteri. Kolostrum juga mengandung lemak dan karbohidrat, namun kadarnya lebih sedikit dari mature milk. Selain itu, semua vitamin terkenal dan mineral juga terkandung dalam kolostrum.
Mature milk juga mengandung protein (lebih kecil kadarnya dari kolostrum), lemak (lebih tinggi dari kolostrum), vitamin dan mineral. Kandungan dalam mature milk ini harus diupayakan sebergizi mungkin dengan cara memberi asupan yang bergizi kepada sang ibu.

Manfaat
Dengan kandungan yang sedemikian rupa dalam ASI, sudah tentu akan mempunyai manfaat yang sangat baik terhadap perkembangan nutrisi bayi. Setidaknya, manfaat itu terdiri dari manfaat kesehatan, psikologis, dan ekonomi.
Secara kesehatan, ASI mengandung sebagian besar kebutuhan nutrisi dan metabolisme bayi. ASI juga sangat steril dan dikeluarkan dengan temperatur yang tepat. ASI juga dapat mengurangi probabilitas sakit perut dan peradangan. Yang lebih penting lagi, ASI juga mengandung faktor-faktor anti-infeksi. Bayi yang menyusui biasanya lebih tahan terhadap malaria dan infeksi yang diakibatkan kuman atau virus (termasuk polio). ASI juga bisa mengurangi kemungkinan terkena penyakit rakhitis karena kekurangan zat besi. Kandungan-kandungan ASI yang terdiri dari immunoglobulin, limfosit, antibodi dan makrofag dapat mencegah multiplikasi patogen-patogen bakteri dan virus dalam saluran pencernaan bayi. Faktor anti-infeksi lain adalah lysozyme dan laktoferin yang manfaatnya telah disebutkan sebelum ini.
ASI mengandung pula faktor-faktor pertumbuhan yang memfasilitasi kolonisasi saluran pencernaan bayi dengan Lactobacillus bifidis, yang juga protektif dan membantu mempertahankan pH rendah yang akan menghambat pertumbuhan bakteri. Howie et al (1990) menunjukkan bahwa bayi yang menyusui untuk 13 pekan pertama dalam hidupnya, memiliki insiden yang berkurang terhadap infeksi pernapasan dan pencernaan. Proteksi itu berlangsung sampai tahun pertama kelahiran, walaupun proses menyusuinya berhenti.
Kaitannya dengan gizi buruk, maka fakta-fakta di atas dapat kita jadikan acuan sebagai beikut:
1. Dengan menyusui, bayi sudah diberi asupan terbaik sejak awal. Gizinya terpenuhi dan metabolismenya terperhatikan. Bukankah gizi buruk terjadi karena buruknya nutrisi yang dikonsumsi? Sedangkan ASI mengandung semua zat penting seperti lemak, vitamin, mineral, karbohidrat, dan protein? Bukankah kasus gizi buruk yang sering terjadi adalah kekurangan energi protein (KEP)? Padahal kolostrum, yang diproduksi seminggu awal, mengandung 5 kali protein dibandingkan dengan masa persusuan selanjutnya.
2. Dengan menyusui, berarti bayi sudah diberi faktor-faktor protektif bagi infeksi. Bukankah gizi buruk akan sangat mudah terjadi bila kondisi tubuh sedang dalam keadaan terinfeksi? Padahal terdapat sekian banyaknya faktor-faktor anti-infeksi yang dikandung dalam ASI.
Jadi jelas, dengan menyusui dari awal kelahiran sampai jangka waktu yang dianjurkan (bahkan sampai 2 tahun), bayi sudah dibekali dengan tameng anti gizi buruk yang paling alami, yang didapat dari sang ibu, orang yang terdekat dengannya. Efek lainnya bahkan menguntungkan bagi sang ibu. Dengan menyusui, ibu tidak selalu mendapat haid, dengan demikian dapat menyimpan persediaan zat besi.
Dari segi psikologis, menyusui berarti mendekatkan anak pada perhatian orang tuanya (terutama ibu). Rasa kasih sayang ibu pada bayi akan semakin bertambah bila ia terus didekatnya. Dengan demuikian, di hari depan ibu tidak akan rela bila anaknya akan mengalami masalah dengan gizinya. Sang ibu seharusnya akan semakin mengerti dengan pola makan anak yang ideal, dan di waktu melepas anaknya dari persusuan, hal itu akan semakin diperhatikan.
Dari segi ekonomis, menyusui juga tidak menghabiskan banyak biaya. Menyusui sangat praktis, tanpa mengurangi sterilitasnya. Ini juga akan mempengaruhi biaya pemeliharaan bayi tanpa harus membeli banyak susu dan makanan tambahan lain. Bukankah gizi buruk juga terjadi karena masalah ekonomi? Maka menyusui merupakan solusi dini bagi masalah ekonomi itu.
Berikut ini akan dipaparkan mengenai efektifitas dari menyusui di beberapa negara. Pada tahun 1943 di Liverpool, Inggris, jumlah angka yang menderita radang perut di antara anak-anak yang minum susu botol adalah lebih dari dua bekas kali anak-anak yang menyusui. Angka kematian bayi-bayi yang minum susu botol lebih tinggi dari bayi yang hanya menyusu pada ibu. Menurut studi tahun 1970 di San Salvador, tiga perempat bayi yang meninggal pada akhir bulan pertama hingga lima bulan kemudian hanya disusukan selama kurang dari tiga puluh hari, kalaupun disusukan, mereka yang meninggal pada paruh terakhir tahun pertama hidupnya, hampir setengahnya disusukan kurang dari satu bulan.
Sebagai penutup essay ini, maka gerakan menyusui balita perlu untuk disosialisasikan lagi kepada orang tua. Sosialisasi ini diharapkan dapat memicu turunnya kasus gizi buruk (pada anak khususnya) yang telah menjadi bahan pemberitaan media massa Indonesia akhir-akhir ini. Mencegah malnutrisi sejak dini? Tunggu apalagi. Hanya orang tua mengerti yang paham kebutuhan anaknya.

Rujukan
Helem, M.,N. Nutrition and Dietetics for Health Care. Tenth Edition. UK: Churcil Livingstone, 2002.
Berg, A. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: CV Rajawali, 1986.
Koran Tempo (Jum’at, 7 Juli 2006)

Reorientasi Ospek

Zulfadhli N, pernah masuk media kampus, tahun 2009

Prosesi penerimaan mahasiswa baru mulai dilaksanakan di beberapa kampus. Sebuah prosesi yang mengiringi diumumkannya hasil SPMB di awal bulan agustus ini.

Namun di tengah kegembiraan para siswa yang lulus, mungkin terbetik satu kekhawatiran dalam menyongsong masa barunya beraktifitas di perguruan tinggi. Adalah ospek (orientasi dan pengenalan kampus), yang biasanya diasosiasikan dengan perploncoan dan pembinaan militeristik, membuat mahasiswa baru menjadi was-was. Terlebih, dalam tahun-tahun belakangan terdapat pencitraan buruk terhadap proses pembinaan dalam salah satu kampus kedinasan yang memakan beberapa korban jiwa.

Merupakan suatu yang wajar jika dalam aktivitas kemahasiswaan, dengan berbagai lembaganya, melakukan satu proses regenerasi dan kaderisasi. Maka, salah satu dasar pelaksanaan ospek adalah untuk hal tersebut di samping untuk membangun perkenalan personship dari mahasiswa angkatan tua kepada juniornya. Dengan inilah diharapkan, mahasiswa lama tidak menjadi cemas akan kontinuitas estafet pergerakan kampus.

Tapi nampaknya, pesan-pesan implisit itu ditangkap lain oleh mahasiswa baru. Ospek masih sering dianggap sebagai rutinitas tahunan. Banyak pula yang merasakannya sebagai sebuah keterpaksaan atau karena takut akan konsekuensi pengucilan dari kegiatan dan fasilitas kemahasiswaan.

Tentu perspektif yang seperti itu tidak dapat disalahkan begitu saja. Diakui atau tidak, pelaksanaan ospek memang sering kehilangan orientasi awalnya. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik berlangsungnya kegiatan ospek, yang setidaknya masih mengandung dua unsur: feodal dan non-esensial.

Feodal dalam konteks ini bermakna, bahwa mahasiswa baru masih sering dijadikan sebagai objek perploncoan. Mahasiswa senior seakan-akan mendaulat dirinya tanpa cela, dan juga antikritik. Kalaupun pintu kritisasi dibuka saat pelaksanaan ospek, hal itu hanya sekedar untuk menguji keberanian mahasiswa baru, namun komentarnya tetap tidak ditanggapi.

Pun dalam hal keteladanan. Mahasiswa baru tidak dapat merasakan contoh baik dari para seniornya. Justeru mahasiswa baru diberikan asosiasi bahwa senior yang populis adalah senior yang pandai beretorika dan berargumentasi di depan mereka sembari menciptakan situasi yang tegang dan mencekam.

Keteladanan yang natural sangat minim. Senior berpakaian sopan hanya pada saat ospek dilaksanakan, yang waktunya hanya satu sampai dua pekan saja. Begitupun dalam masalah ketepatan waktu. Belum lagi dalam bersikap santun, ramah, bersahabat, dan egaliter. Jadi, kalaupun ada keteladanan yang dirasakan saat ospek berlangsung, hanyalah bentukan belaka dan sifatnya hipokrit.

Karakteristik ospek lainnya yang masih sering ada adalah non-esensial. Yang dimaksud dengan non-esensial adalah masih banyaknya kegiatan dan tugas yang diberikan kepada mahasiswa baru tanpa esensi dan arahan yang jelas. Itikadnya hanya sekedar memberatkan junior, dengan legitimasi-legitimasi bahwa mahasiswa baru harus teguh, sabar, tidak boleh cengeng, dan sebagainya.

Dalam hal berpakaian misalnya, pernak-pernik yang dipakai rasanya tidak etis. Bukannya memberi kebanggaan sebagai mahasiswa, atribut yang dipakai justeru membuatnya malu dan tertunduk di depan masyarakat umum. Begitupun dalam kegiatan outdoor yang full marah-marahan dengan bisingnya teriakan senior. Padahal, yang disampaikan tidak ada yang baru. Hanya doktrin pergerakan yang diulang-ulang. Dengan sikap yang demikian, jelas fokus yang ditangkap mahasiswa baru lebih pada ploncoannya daripada memahami pesan yang disampaikan seniornya.

Dua karakteristik di atas masih berlangsung di berbagai perguruan tinggi. Termasuk, di universitas-universitas besar negeri ini.

Karenanya, reorientasi ospek perlu dipertimbangkan. Pelaksanaan ospek harus dikembalikan pada dasarnya sebagai wahana apresiasi dari mahasiswa angkatan tua kepada “rekan” penerus perjuangannya. Penulis berpendapat, untuk mereorientasi ospek ada tiga hal yang harus dijadikan dalam pelaksanaannya.

Pertama, bahwa menjadi mahasiswa adalah sebuah kebanggaan sekaligus beban besar dari sejarah pergerakan pemuda, bahkan sejarah pergerakan bangsa-bangsa dunia. Di Indonesia, jumlah mahasiswa hanya sekitar 2%, maka julukannya sebagai avant-garde (garda terdepan) harus diaplikasikan dalam hal-hal konkrit. Pemahaman ini dipersistenkan kepada mahasiswa baru agar mereka memahami esensi menyandang gelar mahasiswa.

Kedua, menjadi mahasiswa berarti mempersiapkan profesionalitas di bidangnya pascakampus nanti. Keterlibatan kita dalam perbaikan bangsa sebisa mungkin diupayakan melalui jalur akademis yang telah kita tempuh. Atau singkatnya, mahasiswa mempersiapkan kompetensi berdasarkan core­-nya masing-masing. Maka dalam ospek, arahan-arahan keilmuan dan kaitannya dengan realitas di masyarakat, mesti mendapat porsi yang cukup.

Ketiga, bahwa menjadi mahasiswa seharusnyalah menjadi bagian dari moral forces. Jadi, ospek diarahkan sebagai salah satu strategi untuk mengkooptasi perspektif mahasiswa baru yang beranggapan bahwa dengan menjadi mahasiswa berarti bebas berperilaku apa saja. Biasanya, dalih yang diungkapkan adalah, “kita bukan anak sekolahan lagi!” Padahal, sebagai pasukan moral, mahasiswa adalah bagian dari kontrol sosial, yang dengan intelektualitasnya seharusnya mampu menjadi teladan dalam berperilaku santun dan beretika.

Kita harapkan terjadi transformasi ospek baik secara paradigma maupun pelaksanaan teknisnya di lapangan sehingga ospek tidak lagi dirasakan sebagai beban oleh mahasiswa baru dan keluarganya, tetapi merupakan bentuk apresiasi dan introduksi akan dunia kampus yang lebih dinamis.

Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia!

 

Paradigma Kesehatan Lingkungan dalam Penanganan Flu Burung

Zulfadhli Nasution, ditulis 2007

———

Flu burung masih menjadi ancaman kesehatan. Indonesia masih memegang rekor sebagai negara dengan korban terbanyak, 80% dari lebih 70an orang yang terjangkit, atau 62nya telah meninggal dunia. Berbagai pihak pun telah berupaya meminimalisasi dan mengeliminasi dampaknya.

Pemberantasan yang dilakukan sudah seharusnya merupakan program yang terpadu. Terpadu dalam arti komprehensif, integral, tidak sporadis dan tidak juga parsial. Ahmadi (2005) menyatakan bahwa secara teoritis, manajemen penyakit secara terpadu adalah mengintegrasikan antara pengendalian faktor risiko penyakit yakni variabel kependudukan (perilaku) dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit, serta manajemen kasus atau penderita atau sumber penyakitnya.

Secara epidemiologi, proses timbulnya suatu penyakit (patogenesis) memang selalu berkaitan dengan 3 faktor penting yaitu host (calon penderita), agent (sumber penyakit) dan environment (lingkungan). Maka, dalam keterpaduan manajemen penyakit semestinya dilakukanlah intervensi semaksimal mungkin pada ketiga-tiganya.

Paradigma Kesehatan Lingkungan

Manajemen penyakit secara terpadu dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada paradigma kesehatan lingkungan. Paradigma kesehatan lingkungan ini mencakup empat simpul proses terjadinya penyakit yaitu sumber penyakit (simpul 1), media transmisi (simpul 2), komponen kependudukan (simpul 3), dan keadaan sakit atau sehat (simpul 4).

Manajemen pada simpul 1 ditujukan untuk mengintervensi sumber penyakit, dalam hal ini penyakit flu burung. Simpul 1 pada penyakit menular umumnya adalah penderita itu sendiri. Pada penyakit flu burung, sumber penyakit adalah pasien yang telah confirmed terinfeksi virus, atau yang saat ini dikenal adalah H5N1.

Pengendalian pada simpul ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, melakukan tindakan kuratif dan penanganan medis bagi mereka yang telah positif terinfeksi virus. Mesti pula dilakukan penemuan kasus di lapangan secara aktif yang dapat berfungsi bukan hanya untuk pengobatan tetapi juga melakukan penggalian informasi mengenai sebab-sebab penyakit (studi retrospektif) sehingga kemudian dapat diambil aksi untuk pencegahan. Dilakukan pula proses isolasi agar virus ini tidak melanggengkan siklus mata rantai kehidupannya melalui reservoir lain.

Kedua, melakukan pencegahan berdasarkan fakta yang ditemukan seperti memvaksinasi unggas-unggas, dengan tetap memantau perkembangan keadaan patogenesis di masyarakat. Dalam manajemen simpul 1 ini, semua pihak yang berkaitan dengan sumber penyakit juga sepatutnya waspada. Memang secara ilmiah belum ditemukan adanya penularan dari manusia ke manusia, hanya saja tindakan preventif selalu diperlukan. Selain itu, petugas kesehatan yang melaksanakan tindakan di lapangan seperti vaksinasi unggas, pemusnahan, pemeriksaan dan sertifikasi sebaiknya menggunakan peralatan proteksi diri sehingga dapat meminimalisasi terjangkitnya penyakit ke dalam tubuh.

Simpul 2, setelah sumber penyakit, adalah wahana transmisi. Seperti namanya, maka unggas lebih dikenal sebagai wahana transmisi Avian influenza yang paling penting. Perlu diketahui pula bahwa unggas yang terinfeksi H5N1 biasanya memiliki gejala jengger berubah menjadi warna biru, timbul borok di kaki, dan terjadi kematian mendadak.

Penularannya kepada manusia diketahui melalui jalur pernapasan setelah kontak dengan unggas, kotorannya, serta bagiannya yang lain. Penanganan pada simpul ini ditujukan agar masyarakat meminimalisasi kontak dengan unggas. Caranya antara lain dengan mengatur jarak antara peternakan atau kandang unggas dengan pemukiman, melakukan vaksinasi pada unggas dan melakukan penanganan higiene dan pengandangan secara disiplin bagi unggas.

Adapun pemusnahan yang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah, terutama DKI, bisa menjadi solusi tetapi perlu diperhatikan pula jangka pelaksanaannya. Pertanyaannya, sampai kapan hal itu harus dilakukan? Pertimbangannya, bila hal itu dilaksanakan secara kontinu, maka kompensasinya terutama secara ekonomi akan membengkak. Bagaimana pula dengan peternakan yang komersial dan skala besar? Maka diperlukan kerja keras dari para ahli lintas sektor untuk terus meneliti root problem dari kasus ini. Instansi yang berkaitan dengan kedokteran hewan pun perlu melakukan penelitian dan kajian terus menerus mengenai hal ini.

Perlu diketahui bahwa sampai saat ini flu burung tidak berkaitan dengan mengonsumsi daging atau telur ayam, asalkan dimasak sampai matang. Untuk daging sekitar 1 menit dalam suhu 800 C dan telur sekitar 5 menit dalam suhu 640 C. Jadi, masyarakat tidak perlu terlalu khawatir untuk memakan daging unggas.

Manajemen selanjutnya adalah pada simpul 3, yaitu pengendalian tereksposnya agent kepada penduduk. Ini utamanya berkaitan dengan perilaku manusia sebagai host dari agen penyakit. Beberapa upaya yang telah dikenal (Ahmadi, 2005), antara lain upaya perbaikan perilaku hidup sehat, penggunaaan alat pelindung diri, imunisasi, atau kekebalan alamiah ketika terjadi wabah demam berdarah dengue.

Perilaku hidup sehat merupakan dasar dari kaidah kesehatan masyarakat dalam pemberantasan penyakit manapun. Dalam hal flu burung ini, maka diperlukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat sehingga kesadaran mereka terbangun untuk mencegah flu burung sejak dini. Program ini bisa melalui media massa, kampanye simpatik, advokasi kepada aparat pemerintahan dan tokoh masyarakat, penyuluhan, seminar, workshop dan lain sebagainya. Kegiatan promosi dan sosialisasi ini dapat dilakukan dengan bekerjasama antara Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, media massa, mahasiswa dan LSM.

Hal-hal yang perlu disosialisasikan antara lain: meminimalisasi kontak dengan unggas bila tidak diperlukan, memperhatikan kebersihan diri saat kontak dengan unggas dengan menggunakan peralatan proteksi diri, memperhatikan higiene setelah kontak dengan unggas seperti mencuci tangan, membersihkan kandang dan menjemurnya dengan sinar matahari, juga  memperhatikan keadaan unggas di sekitar. Selain itu penting untuk tetap memelihara daya tahan tubuh, mengonsumsi makan yang bergizi, dan istirahat yang cukup. Diharapkan, manajemen pada simpul 3 ini bisa mengubah perilaku masyarakat sehingga kerentanan mereka untuk terjangkit virus flu burung dapat direduksi.

Penanganan selanjutnya, pada simpul 4, adalah manajemen kasus. Pada penyakit lain biasanya dengan cara pengobatan, hanya saja pada flu burung ini belum ditemukan obat yang efektif, yang ada hanya tamiflu untuk meningkatkan daya imunitas terhadap virus. Maka, cara yang dilakukan adalah dengan penanganan medis berupa isolasi dan hal lain yang dianggap perlu dilakukan oleh tenaga kedokteran.

Diperlukan pula kesadaran dari masyarakat untuk memeriksakan diri dengan segera ke Puskesmas bila merasa memiliki gejala yang biasa dialami oleh suspect flu burung. Beberapa tanda yang biasa terjadi pada pasien suspect flu burung adalah suhu di atas 380 C, batuk, nyeri otot, sulit bernapas, kering pada mata dan tenggorokan.

Kita berharap, dengan penanganan yang komprehensif dan kontinyu dari semua pihak, yang tentu tanggung jawab terbesar ada pada pemerintah, dapat menekan korban flu burung. Bila tidak tertangani dengan segera, maka yang menjadi korban (lagi-lagi) adalah masyarakat.

Mewaspadai Faktor Risiko Kesehatan Akibat Banjir

Zulfadhli Nasution, ditulis 2007

———

Di tengah upaya pemerintah DKI menangani flu burung, bencana kesehatan lain justru mengiringi. Selain kasus demam berdarah yang lagi-lagi menjangkiti warga ibukota, bencana banjir yang menghabisi ribuan rumah, puluhan jiwa, dan banyak kerugian lainnya menjadi ancaman berganda bagi kesehatan masyarakat.

Disebut ancaman berganda karena jika tidak segera ditangani akan menimbulkan dampak yang semakin bercabang dan meluas. Hal itu disebabkan situasi dan kondisi pascabanjir cenderung menjadi katalisator timbulnya berbagai penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Masalah kesehatan sendiri merupakan salah satu sub-impact dari bencana banjir. Bencana ini juga telah meluluhlantahkan infrastruktur, menjadi inhibitor produktivitas ekonomi, dan ”meliburkan” kegiatan belajar mengajar.  Kesemuanya itu sangat signifikan bila dinilai dengan hitung-hitungan rupiah, ditambah lagi dengan biaya bantuan, evakuasi dan rehabilitasi yang harus dikeluarkan dari kocek negara dan pemerintah daerah..

Banjir dan Potensi Penyakit

Banjir didefinisikan sebagai peristiwa melimpahya air keluar dari alur sungai ke jalan umum dan permukiman sehingga menimbulkan gangguan dan kerugian terhadap manusia. Melimpahnya air tersebut dikarenakan sungai dan tanah mengalami overflow sehingga air hujan tidak dapat diserap lagi secara optimal.

Banjir dalam skala besar, yang dialami Jakarta sekarang, tentu membawa potensi masalah kesehatan yang berkolerasi positif dengan skalanya. Masalah yang biasanya timbul adalah munculnya penyakit menular dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kondisi pengungsian.

Masalah kesehatan tersebut timbul karena beberapa faktor. Yang terpenting adalah masalah inadekuatnya sarana dan prasarana sanitasi. Faktor risiko ini juga menjadi penyebab warga menjadi kurang memperhatikan higienitas pribadi. Ditambah lagi, imunitas korban yang mulai tereduksi akibat sering berkotor-kotor dan berbasah-basah, tidak terlalu ter-back-up dengan asupan nutrisi yang cukup. Begitupun, air bersih menjadi sulit ditemukan, semuanya tercemar dengan lumpur dan sampah yang menumpang dalam aliran air bah. Kausa yang berurutan dan saling berkaitan tersebut pada akhirnya menimbulkan dua masalah yang terbesar: diare dan penyakit kulit.

Di pengungsian, korban pun mendapat tempat yang seadanya dan tidak mengurangi risiko penyakit, bahkan bisa menjadi stimulan untuk timbulnya penyakit. Situasi yang akan mendukung penyakit antara lain padatnya tempat evakusi, sementara ventilasi tidak memadai, diperburuk dengan dapur umum yang dekat atau di dalam penampungan. Itu semua menyebabkan kelembaban meningkat sehingga memudahkan terjadi penyakit ISPA (infeksi saluran pernapasan akut).

Diare juga menjadi masalah rawan di pengungsian. Penyakit lainnya adalah malaria yang diakibatkan karena adanya air-air kotor di area pengungsian dan juga campak akibat cakupan imunisasi di daerah asal pengungsi tidak mencapai 80%. Empat penyakit itu (diare, ISPA, campak dan malaria) diistilahkan dengan the big four dalam kaitannya dengan masalah kesehatan pascabanjir. Potensi penyakit lain, dengan frekuensi tidak sering, adalah tetanus akibat infeksi pada luka, leptospirosis akibat perubahan habitat tikus pascabanjir.

Manajemen Kesehatan dalam Situasi Bencana Banjir

Berdasarkan kronologis yang ditarik dari waktu terjadinya bencana, maka ada tiga urutan waktu yang idealnya menjadi bagian dari manajemen kesehatan di sekitar situasi bencana: pra, saat dan pasca.

Manajemen prabencana nampaknya yang selama ini diabaikan. Padahal, banyak pihak sudah memprediksi dan menyadari bahwa banjir adalah bencana musiman. Maka sangat naif bila hal itu selalu menjadi wacana di atas kertas saja.

Manajemen prabencana seharusnya melaksanakan apa yang disebut dengan contingency plan. Contingency plan adalah semacam rencana b untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi di luar kebiasaan.

Untuk melaksanakannya, perlu dibuat pemetaan potensi bencana dan masalah kesehatan yang akan ditimbulkannya. Bencana banjir yang disebut-sebut sebagai bencana musiman seharusnya justru semakin memudahkan prediksi. Sehingga kalaupun bencana terjadi tidak akan menyebabkan kepanikan dan kesimpangsiuran koordinasi.

Saat banjir terjadi, idealnya dilaksanakan apa yang telah direncanakan dalam contingency plan, tentu dengan konteks yang paling riil dengan bencana yang terjadi. Biasanya, saat bencana berlangsung prioritas penanganan ada pada masalah medik (peetolongan pertama) dan evakuasi.

Pascabanjir, penanganan difokuskan pada pemeliharaan dan rehabilitasi korban. Semua hal yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat dilaksanakan seperti penyediaan air bersih, sarana sanitasi, penanganan masalah gizi, psikososial, pemukiman, vaksin, penyuluhan mengenai higienitas dan lain sebagainya dalam kaidah-kaidah public health. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan manajemen disaster epidemiology, disaster nutrition, dan juga disaster environmental health.

Tuntaskan Akar Masalah

Banjir adalah akar masalahnya. Membiarkannya tidak diintervensi hanya akan membuat banyak pihak lelah dengan persistensi masalah sesuai siklusnya. Untuk itu, perlu koordinasi dan aksi yang integral dari semua pihak.

Beberapa hal yang penulis ketahui, direkomendasikan untuk mencabut masalah ini dari akarnya. Pertama, perlu dibuat review dan revaluasi tata ruang kota yang ada sekarang, apakah telah memenuhi prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Kedua, perlu dibuat sistem hardware yang dapat mengantisipasi banjir, entah dengan memperbanyak daerah resapan, atau kita pun bisa belajar dari Belanda yang tidak banyak bermasalah dengan banjir walaupun ada daerah yang ketinggiannya berada di bawah permukaan laut. Ketiga, lingkungan hidup sudah banyak dieksploitasi di kota ini. Hutan kota sudah digusur dengan berbagai pembangunan, sampah tidak terurus, sementara polusi yang menyebabkan polusi merusak iklim.

Semuanya harus kembali memberikan hak-hak lingkungan untuk dipelihara dan tidak sekedar mengeksploitasinya!

 

Masih di Negeri Aneh

Zulfadhli

Entah masih disandang atau tidak, julukan Zamrud Khatulistiwa bagi negeri kita sudah jarang dibicarakan, jarang diungkap lagi. Kalau boleh hiperbolis dan sedikit “maksa”, mungkin zamrud khatulistiwa bisa diantiakronimkan menjadi zaman makin rumit dan mengkhawatirkan, itulah Indonesia seperti tidak berwibawa.”

Masalah utamanya bukan pada kuantitas sumber daya yang ada. Banyak orang sudah mafhum. Bangsa ini kaya hutan, paru-paru Asia. Jati, Cendana, Borneo, adalah contoh unggul hasil hutan. Minyak bumi bertebaran, mengendap di berbagai titik di Indonesia. Belum lagi batu bara, besi, emas, hasil laut, semen dan berbagai sumber daya alam lain yang sepertinya mustahil untuk tidak ditemukan di Indonesia. Setidaknya, itulah yang dapat diketahui dari pelajaran geografi sewaktu duduk di bangku sekolah.

Namun, sumber alam itu tidak dimanfaatkan dengan baik. Jepang, minim sumber alam. Arab Saudi, tandus. Malaysia dahulu banyak belajar dari Indonesia. Indonesia sekarang? Keadaannya jauh, ada gap. Sudah tidak perlu dibahas lagi perbandingannya. Satu keanehan di negeriku.

***

Orang beralasan, hal itu mungkin dikarenakan minimnya output pendidikan yang berkompeten untuk membina sebuah perubahan. Tapi nyatanya, output-output pendidikan Indonesia yang notabene sudah sampai tingkat sarjana, masih banyak yang menganggur. Apatah lagi dengan mereka yang sama sekali tidak sempat merasakan pendidikan di tengah lapangan pekerjaan yang semakin sempit digusur oleh keadaan-keadaan yang tidak menentu.

Parahnya lagi, output-output pendidikan yang mencapai puncak-puncak jabatan (baca: amanah) malah melakukan hal yang berbanding terbalik dengan nilai-nilai intelektual yang dimilikinya. KKN dalam jumlah besar misalnya, jarang terdengar dari mereka yang hanya lulus SD atau SMP. Justeru, KKN dengan tingkat penyelewengan tinggi terendus dari mereka yang berpendidikan tinggi pula, yang katanya berkualitas. Satu lagi keanehan di negeriku.

***

Mistisme dan tahayul juga sering menjadi mainan di negeri ini, apalagi bagi mereka yang hidupnya dalam keadaan tertekan. Mantera-mantera, jampi, pusaka, sesajen merupakan bagian dari keadaan negeri ini yang penuh mistik. Katanya, itu warisan sejak zaman dahulu kala, ketika mereka yang bergelar raja-raja memerintah sebelum zaman penjajahan. Kesaktian adalah salah satu yang katanya akan didapat dari sebuah ritual mistis. Anehnya, kalau memang benar kita bisa sakti dengan keris, sesajen atau hal-hal “berbau dupa” lain, mengapa negara ini bisa dijajah lebih dari tiga abad. Itu bukti bahwa mistisme bukan sebuah solusi, ia hanya angan-angan.

Nyatanya, butuh darah-darah pejuang sebagai tebusan bagi kemerdekaan dan dari situlah timbul kewibawaan. Butuh tindakan konkrit. Jika saat perjuangan itu pertolongan Tuhan datang, itu adalah bantuan bagi perjuangan yang dilakoni dengan nyata dan sesuai dengan aturannya, tidak abstrak dan penuh tahayul. Mistisme, keanehan lain di negeri ini.

***

Kota-kota besar macet. Jalan-jalan penuh oleh kendaraan bermotor yang membuang polusinya. Mulai dari yang biasa-biasa saja, sampai yang mewah, bisa kita perhatikan di jalan. Maka jalanlah ke lampu merah atau persimpangan jalan. Anak-anak kecil, orang-orang tua, bahkan remaja yang masih kuat secara fisik, “dipaksa” keadaan untuk menadahkan tangan pada mobil-mobil itu, atau sekedar menjadi calo atau polusi cepe.

Kemudian mobil-mobil itu berjalan lagi, menyusuri kolong-kolong jembatan layang yang kumuh, dengan bedeng-bedeng kardus. Menyusuri lagi jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang bukan lagi berwarna coklat, tetapi sudah hitam, tetap dengan bedeng-bedeng kardus di sisi alirannya.

Tapi, musik di dalam mobil-mobil itu tetap mengalun. Kebisingan di luar jendelanya tidak menembus si pengemudi dan penumpang. Jendela (atau bahkan telinga) sudah kedap suara. Sang supir pun bersiul-siul, seperti senang setiap hari. Mobilnya tetap berjalan. Keadaan sosial di negeriku yang aneh.

Menyehatkan Rumah Sakit

Zulfadhli N, ditulis 2007, untuk tugas kuliah yg gagalmasukmedia

Kasus pencemaran lingkungan yang bersumber dari rumah sakit, sempat menjadi perhatian dalam beberapa tahun belakangan. Beberapa rumah sakit bahkan diajukan ke pengadilan karena dianggap membahayakan dan mencemari lingkungan.

Memang merupakan suatu ironi, jika rumah sakit justeru menambah risiko kesakitan bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Tentu hal itu bertentangan dengan perannya sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pelayanan kesehatan.

Rumah sakit memang merupakan penghasil limbah klinis terbesar. Dampaknya bisa mengenai bukan saja bagi orang-orang yang berada di rumah sakit, tetapi juga lingkungan dan masyarakat sekitar. Limbah klinis yang dimaksud adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan, gigi, veterinary, farmasi, atau yang sejenisnya serta limbah yang dihasilkan di rumah sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian.

Oleh karena itu, potensi rumah sakit dalam mencemari lingkungan cukup besar, ditambah lagi bila tidak ada pengelolaan yang memadai. Dalam Profil Kesehatan Indonesia, Departemen Kesehatan, 1997 (Balipost.com), dirilis hasil kajian terhadap 100 RS di Jawa dan Bali. Diketahui bahwa rata-rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari. Produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat tidur per hari.

Analisa lebih jauh menunjukkan, produksi sampah (limbah padat) berupa limbah domestik sebesar 76,8 persen dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per hari. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan 0,5 – 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari.

Data di atas menunjukkan betapa pentingnya pengelolaan kesehatan lingkungan di rumah sakit. Revitalisasi analisa dampak lingkungan rumah sakit nampaknya menjadi keniscayaan. Ditemukannya beberapa rumah sakit yang membuang limbahnya ke sungai secara sembarangan, memperkuat wacana di atas. Hal itu mengindikasikan bahwa selama ini proses mengelola kesehatan lingkungan rumah sakit belum dilaksanakan secara serius.

Penulis mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan hal ini belum menjadi wacana populer. Pertama, adalah kurang kuatnya peraturan yang ada. Sebagaimana dinyatakan Pakar Hukum Lingkungan Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf (kompas.com), belum ada peraturan khusus yang mengatur limbah medis. Limbah medis hanya dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun. Itupun mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 85/1999 tentang Perubahan atas PP 18/ 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). PP ini lebih bertendensi untuk limbah industri dan pertambangan, padahal limbah medis lebih berbahaya dari limbah industri dan pertambangan. Oleh karena itu, setidaknya dibutuhkan regulasi setingkat Keputusan Presiden atau PP.

Kedua, belum adanya peraturan yang lebih mengikat itu tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat. Diketemukannya beberapa rumah sakit yang ”menyakiti” lingkungannya dua tahun belakangan menjadi bukti. Berarti sudah sejak lama rumah sakit-rumah sakit itu mencemari lingkungan. Bahkan, ada yang membuangnya ke sungai besar Ciliwung, yang cukup vital bagi daerah alirannya. Sejumlah rumah sakit juga menyimpan limbah bekas operasi di dekat instalasi air. Akibatnya, potongan tubuh, darah, dan bahan kimia di rumah sakit bisa mengontaminasi air.

Ketiga, pengelola rumah sakit belum mampu menerapkan konsep manajemen lingkungan secara optimal. Hal seperti ini sepertinya masih menjadi pemenuh prosedur legal formal saja bagi pendirian rumah sakit. Kelanggengan pelaksanaannya setelah rumah sakit berdiri, semakin lama semakin memudar. Tanggung jawab sosial rumah sakit masih berada di prioritas bawah dibandingkan dengan investasi mengejar profit.

Mahasiswa Menakar Daya Tawar

Zulfadhli N, gagalmasukmedia, 2008

Kekerasan terhadap mahasiswa oleh aparat kembali menjadi perhatian. Peristiwa yang nampaknya paling menjadi sorotan adalah saat Polisi merangsek masuk ke dalam kampus Universitas Nasional (Unas) Jakarta bulan Mei lalu. Beberapa mahasiswa ditahan, ada pula yang terluka, bahkan akhirnya harus dirujuk ke rumah sakit.

Salah satunya adalah Maftuh Fauzi, mahasiswa Sastera Inggris angkatan 2003. Setelah sempat ditahan, akhirnya ia dilarikan ke RS UKI karena terluka di beberapa bagian tubuhnya. Terakhir, Maftuh dirujuk ke RS Pusat Pertamina.

Dari RSPP inilah bola salju wacana represifitas aparat terhadap mahasiswa semakin memadat. Pasalnya, Maftuh akhirnya meninggal dunia (Jumat, 20 Juni). Yang jelas, di antara kontroversi penyebab meninggalnya, Maftuh dan mahasiswa Unas adalah bagian dari korban represifitas aparat yang masuk kampus. Bahkan, bila berita yang menyatakan penyebab meninggal Maftuh karena HIV adalah tidak benar, maka ini bukan lagi wacana kekerasan biasa, tapi sudah konspiratif, terencana, disertai kebohongan kepada publik.

Rekan-rekan mahasiswa Unas pun diselimuti duka. Perjuangan mereka yang awalnya ditujukan untuk menolak kenaikan harga bahan bakar minyak, seperti juga banyak aksi mahasiswa lainnya, harus berbahankan nyawa seorang mahasiswa.

Dari peristiwa ini, penulis ingin menyampaikan beberapa poin yang bisa dijadikan refleksi bagi pergerakan mahasiswa. Pertama, bisa jadi ini merupakan test-case aparat terhadap daya tawar “kekuatan” mahasiswa. Bahkan, berani-beraninya aparat sampai masuk kampus. Oleh karenanya, setiap kasus kekerasan terhadap mahasiswa mesti dituntut sampai jelas siapa dalangnya dan diberikan hukuman yang sesuai.

Di bulan Mei juga, sebenarnya mahasiswa UI ada yang terserempet peluru karet saat gelaran aksi di depan Gedung DPR/MPR. Yang disayangkan, nampaknya kasus ini selesai dalam beberapa hari saja. Press release dari rekan-rekan BEM UI pun dilaksanakan sudah jauh dari hari peristiwa terjadinya. Seharusnya, ini bisa diblow-up sehingga mahasiswa bisa bilang kepada aparat, “jangan main-main dengan kami!” Dengan demikian gerakan mahasiswa tetap ditakuti sehingga tidak lagi dipermainkan, apalagi di “kandangnya” sendiri dan tidak akan ada lagi kasus serupa di kemudian hari.

Kedua, secara introspektif, bisa jadi daya tawar aksi mahasiswa memang sedang melemah, sehingga aparat pun mulai tidak segan (kembali) terhadap mahasiswa. Pernyataan-pernyataan pejabat bisa kita jadikan indikator tentang ini. Ada yang mengatakan aksi mahasiswa adalah hal yang biasa dalam menyampaikan pendapat. Ada yang mengatakan pemerintah sudah mewaspadai aksi mahasiswa yang akan meningkat ekskalasinya, seperti biasa di bulan Mei setiap tahunnya.

Ini artinya, di mata pemerintah aksi mahasiswa bukan lagi aksi yang menekan. Tapi sekedar kebiasaan. Jadi, yang ditanggapi bukan lagi substansi aksinya, tapi teknis aksinya. Aksi menolak kenaikan BBM, kalau dianggap tidak melanggar ketertiban umum dibiarkan tanpa follow-up. Tapi kalau dianggap melanggar ketertiban umum, aksinya dibubarkan dan mahasiswanya ditangkap. Setelah itu, bergeserlah wacananya menjadi kekerasan terhadap mahasiswa, isu kebebasan berpendapat dan sejenisnya. Dalam hal ini, polisi bisa jadi dipasang menjadi tameng yang dikorbankan pemerintah dalam penggeseran kasus BBM.

Oleh karenanya, yang ketiga, mahasiswa harus tetap konsisten mempertahankan daya tawarnya tanpa melupakan tuntutan-tuntutan awalnya. Dalam hal ini, sinergisitas dan solidaritas dari elemen mahasiswa nampaknya perlu terus dikembangkan sehingga kemasifan daya tawarnya lebih solid dan tidak dipandang biasa oleh aparat dan pemerintah.